Jumat, 01 Maret 2013

PPMI Bukan PPMJ


Pada suatu ketika, saya ditelphon oleh salah seorang awak Persma dari Padang. Inti pembicaraan kami adalah soal PPMI di Sumatra yang mati suri beberapa periode ini. Mengapa tidak ada niat dari pengurus nasional untuk kembali menghidupkan PPMI yang berada di Sumatra? Apakah kalian ingin mengganti PPMI dengan nama PPMJ? Pertanyaan ini dilontarkan oleh awak persma tersebut.
Jujur, bagi saya pribadi yang belum terlalu lama bergulat di PPMI, pertanyaan ini sangat memukul. Apapun alasannya, saya sendiri tidak sepakat dengan pertanyaan sinis dari orang tersebut. Akan tetapi, saya sendiri tidak punya alibi yang kuat untuk membela pengurus nasional karena begitu adanya.
Saya kembali teringat kongres 2010 di Jember. Kala itu, Sekejen PPMI DK Makassar melontarkan satu yang hamper sama dengan pertanyaan sinis di atas. “Kami PPMI DK Makassar merasa dianaktirikan oleh PPMI Nasional!” tegasnya. Walau pernyataan itu banyak dibantah, tapi PPMI DK Makassar  tetap merasa dianaktirikan oleh para pengurus nasional.
Lain lagi cerita dari PPMI DK Mataram. Mereka memiliki jiwa ke-PPMI-an yang sangat tinggi. Mereka secara sadar menamakan diri mereka anggota PPMI, tampa tahu PPMI yang sebenarnya. Itu namanya cinta buta. Mencintai tampa tahu secara mendalam.
Ketika saya berkunjung ke Mataram, ada salah seorang pengurus kota yang bertanya kepada saya tentang apa itu PPMI. Tidak hanya pengurus kota saja, bahkan sekjennya pun menanyakan hal yang sama kepada saya. Walau saya menjelaskan panjang lebar tentang PPMI, tapi bagi saya cinta mereka kelewat batas. Mencintai tampau tahu. Itu yang terjadi di sana.
Hal yang sama terjadi di Palu. Walau sudah menjadi anggota PPMI dua perode ini, tapi mereka sendiri tidak paham tentang PPMI. Para pengurus kota menjelaskan ke anggotanya tentang PPMI seadanya, sedangkal yang mereka tahu. Bagi mereka, yang terpenting adalah mereka anggota PPMI, kendati tak perah sekalipun dikunjungi oleh pengurus nasional sejak mereka dideklarasikan.
Beda pulau, beda kota, beda cerita. Cerita berikut datang dari PPMI DK Denpasar. Maafkan karena saya masih menggunakan PPMI DK Denpasar, bukan PPMI DK Bali. Izinkan saya sedikit bercerita soal nama untuk PPMI Kota. Pada kongres Jember terjadi perdebatan yang begitu lama tentang nama PPMI untuk tiap kota tersebut. Mungkin karena ketidakpahaman orang tentang nama tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa kita menggunakan nama kota bukan propinsi. Pertama, karena kita menggunakan nama kota atau dewan kota bukan propinsi atau dewan propinsi. Kedua, mempersempit ruang lingkup kerja teman-teman pengurus kota. Bagi PPMI yang memiliki anggota di beberapa kota, kita namakan dewan kota. Ketiga, pada AD/ART kita menggunakan nama kota atau dewan kota.
Kendati demikian, ada saja alasan mengapa dinamakan PPMI DK Bali, bukan Denpasar. Alasan mendasarnya adalah menaikan posisi tawar teman-teman di Bali. Alasan kedua, alasan dari anggotanya adalah ketidaktahuan akan nama.
Dua alasan  ini menjadi sangat lucu bagi saya. Sejauh pengalaman saya yang sempit ini di PPMI, alasan posisi tawar bukan menjadi alasan  yang mendasar. Posisi tawar tawar tidak ditentukan oleh sebuah nama, tapi sejauh mana peran kita bagi masyarakat. Tulah alasan kenapa saya masih menggunakan nama PPMI DK Denpasar.
Di tempat ini, mereka sering mendapat kunjungan dari para penguru nasional. Mengapa pengurus nasional sering berkunjung ke sini? Karena mereka menjadi tuan rumah dies natalis. Selain itu, karena kurang kuatnya kultur dan pengatahuan tentang PPMI. Inilah satu-satunya kota luar jawa yang sering dikunjungi pengurus nasional.
Kalau boleh terbuka, sudah beberapa periode ini, PPMI memang sengaja disentralisasikan ke Jawa. Alasan pertama dan utama adalah kefokusan kerja. Akan tetapi, bagi saya, ini bukan masalah kefokusan kerja para pengurus nasional, tapi masalah niat untuk menjalankan tugasnya. Semua pekerjaan bisa kita selesaikan selama kita punya niat dan konsep yang jelas.
Alasan lain adalah masalah dana. Kalau maslah ini memang masih menjadi alasan yang susah untuk dipecahkan. Mungkin karena belum mencoba, atau ketakutan untuk mencoba. Sedikit bercerita tentang perjalanan yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Ketika itu saya hanya punya Rp 200.000 di kantong. Niat saya adalah mengunjungi teman-teman PPMI yang berada di luar Jawa, tepatnya, Bali, Mataram, dan Makassar. Dengan dana seadanya, saya bisa mengelilingi kedua beberapa kota tersebut. Kuncinya adalah niat.
Tujuan dari perjalanan saya ini adalah mengetahui kondisi kota-kota dari dekat. Selain itu mengajak teman-teman pengurus lain untuk tidak  perlu cemas soal dana.
Kendati demikian, apa yang sudah saya lakukan tidak mendapat respon yang baik dari semua orang. Sekembali saya dari perjalnan, saya bertemu dengan beberapa alumni juga ada pengurus. saya dianggap melakukan hal yang sia-sia dengan mengunjungi teman-teman yang berada di luar Jawa. Lucu dan selalu membuat saya tertawa sinis mengingat hal itu.
Hampir semua dari kita selalu memprotes sentralisasi yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat. Namun mengapa dalam menjalankan organisasi, kita masih mempraktekan sistem sentralisasi ini?
Saya mengungkapkan hal ini bukan bermaksud memecahbelakan PPMI. Saya hanya ingin kita kembali merefleksikan tentang Perhinpunan Pers Mahasiswa INDONESIA. INDONESIA bukan JAWA atau daerah tertentu saja. Jangan pernah mempersempit INDONESIA!
Penulis : Richi Anyan [Koordinator DEN Nasional]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

nama :
email :

 
UKM Komunikasi UNIMUS © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here